Peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengatakan tes keperawanan yang dilakukan kepolisian saat melakukan rekrutmen polisi wanita sangat merendahkan martabat wanita. "Tes itu sangat melecehkan para calon polisi perempuan," katanya.
Dalam wawancara Human Rights Watch dengan sejumlah polwan dan pelamar polwan di enam kota terungkap pelamar yang terbukti "tidak perawan" bukan berarti tak bisa masuk kepolisian. Namun, setelah menjalani tes, mereka trauma. "Padahal mereka bekerja melayani perempuan dan anak yang juga memiliki trauma. Sedangkan polwannya belum bisa menyembuhkan traumanya sendiri," ujar Andreas.
Human Rights menyatakan polwan sudah membahas masalah ini dengan bagian personalia Kepolisian Indonesia, yang menyatakan praktek tersebut harus dihentikan. Namun tes keperawanan masih tercantum sebagai salah satu syarat yang harus dijalani pelamar polwan di website rekrutmen polisi.
|
Tes keperawanan yang menimbulkan kontroversi di Indonesia |
Hasil wawancara Human Rights Watch menegaskan bahwa tes itu memang masih dilakukan hingga kini. "Tes keperawanan yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia merupakan praktek diskriminasi dan penghinaan terhadap perempuan," tutur Nisha Varia, Direktur Human Rights Watch Bidang Hak Perempuan, dalam keterangan persnya.
Tes tersebut dianggap Human Rights bertentangan dengan peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia soal seleksi calon polisi yang harus non diskriminasi dan humanis serta melanggar hak asasi internasional tentang kesetaraan, non diskriminasi, dan pribadi. Pemaksaan terhadap tes ini suatu kekejaman, tak manusiawi, serta merendahkan martabat perempuan di mata hukum internasional.
Human Right Watch meminta kepada semua negara yang melaksanakan rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk menghapus tes keperawanan. Sebabnya, hal itu dapat merendahkan dan mendiskriminasikan kaum perempuan.
Berdasarkan rekomendasi yang dimuat dalam buku panduan WHO, yakni Health Care for Women Subjected to Intimate Partner Violence or Sexual Violence, dinyatakan bahwa petugas kesehatan tidak mesti melakukan tes tersebut. Sebab, hak asasi dan kenyamanan perempuan harus diutamakan. "Pemeriksaan fisik dilakukan hanya bila mendapat persetujuan dan fokus pada perawatan medis yang diperlukan seorang perempuan," ujar Liesl Gerntholtz, Direktur Human Right Watch Bidang Hak Perempuan, melalui keterangan tertulis, Selasa, 2 Desember 2014.
Adapun, menurut Liesl, fokus pemeriksaan dalam buku panduan tersebut dapat dilakukan setelah terjadi kekerasan seksual dan rumah tangga. Meskipun demikian, Liesl berujar, penerapan tes keperawanan sudah terjadi di sejumlah negara. Salah satunya Afganistan. Pemerintah Afganistan melakukan tes tersebut untuk membuktikan apakah warga perempuan di sana pernah melakukan kejahatan moral, seperti zina. "Untuk membuktikan berzina, harus melewati tes keperawanan dulu," katanya.
Liesl menjelaskan tes keperawanan ini bisa dilakukan dua atau tiga kali terhadap perempuan yang sama. Hal ini untuk menghindari prosedur keputusan yang dianggap keliru. "Kadang tes ini bisa dipaksakan pada perempuan yang dituduh terkena kejahatan, seperti perampokan dan penyerangan," katanya.
Bahkan, kata Liesl, tes keperawanan juga menjadi patokan hakim untuk menentukan vonis. "Tentu saja ini rawan kesalahan. Karena korban pemerkosaan sering tidak melaporkan maupun mencari bantuan karena berisiko dianggap berzina. Bahkan banyak pejabat yang percaya tes ini," katanya.
Di Indonesia,
tes keperawanan menimbulkan kontroversi ini, untuk menjadi polisi, pelamar wanita harus menjalani tes tersebut. Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Yuniyanti menganggap tes keperawanan merupakan tindak serangan seksual yang merendahkan derajat manusia dan diskriminatif terhadap perempuan. Sumber:tempo.co